Kesehatan Ibu Di Indonesia
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator Milenium Development Goals (MDGs) yang harus diturunkan menjadi 102 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH) pada tahun 2015. Dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun AKI cenderung menurun, walaupun penurunannya lambat. Angka kematian ibu menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 adalah sebesar 390 per 100.000 KH, menurun menjadi 359 kematian per 100.000 KH (SDKI, 2012). Melihat kenyataan ini, target MDGs untuk AKI pada tahun 2015 akan sulit tercapai.
Kematian ibu merupakan hasil dari interaksi berbagai aspek, baik aspek klinis, aspek sistem pelayanan kesehatan, maupun faktor-faktor non-kesehatan yang memengaruhi pemberian pelayanan klinis dan terselenggaranya sistem pelayanan kesehatan secara optimal seperti kondisi geografis, penyebaran penduduk, kondisi sosial ekonomi, budaya dan bias gender dalam masyarakat dan keluarga serta tingkat pendidikan masyarakat. Faktor yang berkontribusi terhadap kematian ibu secara garis besar dibagi menjadi dua:
- Kematian yang disebabkan oleh penyebab langsung obstetri yaitu kematian yang berhubungan dengan komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 15% kehamilan akan mengalami komplikasi, kebanyakan terjadi saat persalinan. Terjadinya komplikasi sulit diperkirakan, sering muncul tiba-tiba dan pertolongannya memerlukan tindakan yang cepat.
- Kematian yang disebabkan oleh penyebab tidak langsung yaitu kematian yang terjadi pada ibu hamil yang disebabkan oleh penyakit dan bukan oleh kehamilan atau persalinannya. Penyakit Tuberkulosis, Anemia, Malaria, Sifilis, HIV dan AIDS dan lain-lain dapat memperberat kehamilan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian.
Hasil analisis sensus penduduk pada tahun 2010 memperlihatkan kematian ibu paling banyak disebabkan oleh komplikasi obstetri seperti hipertensi dalam kehamilan (32%), komplikasi puerperium (31%), perdarahan post partum (20%), penyebab lain-lain (7%), abortus (4%), perdarahan antepartum (3%), kelainan amnion (2%), dan partus lama (1%). Sebagian besar komplikasi tersebut dapat dicegah dan ditangani oleh tenaga kesehatan namun apabila tidak ditangani secara adekuat dapat mengancam nyawa. Untuk itu setiap ibu harus mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan. Dalam kenyataannya, langkah-langkah pencegahan dan penanganan komplikasi tersebut di atas seringkali tidak terjadi, yang disebabkan oleh 3 Terlambat (Terlambat mengenali tanda bahaya dan pengambilan keputusan untuk mencari pertolongan berkualitas, terlambat dalam mencapai fasilitas pelayanan kesehatan dan terlambat mendapatkan pertolongan yang adekuat).
Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia |
Secara nasional, akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu semakin membaik. Hasil SDKI menunjukkan bahwa persentase ibu hamil yang memeriksakan kehamilan ke tenaga kesehatan meningkat dari 92% (tahun 2002) menjadi 96% (tahun 2012), persentase ibu bersalin dengan bantuan tenaga kesehatan meningkat dari 66% menjadi 83% dan persentase ibu bersalin di fasilitas pelayaan kesehatan meningkat dari 40% menjadi 63%. Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas dengan cara menyediakan tenaga kesehatan dalam jumlah yang memadai dan berkualitas, menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu dalam pengadaan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal sesuai standar di tingkat dasar maupun rujukan melalui PONED dan PONEK yang dapat diakses 24 jam dalam 7 hari atu dikenal dengan sebutan PONED 24/7 dan PONEK 24/7, serta memobilisasi seluruh lapisan masyarakat terutama untuk pelaksanaan Program Perencanaan Persalinan dengan Pencegahan Komplikasi (P4K).
Kesehatan Anak Di Indonesia
Seperti halnya kesehatan ibu, kesehatan anak sampai saat ini kondisinya belum seperti yang diharapkan. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) masih tinggi. Walaupun terjadi penurunan AKB dan AKABA yang cukup tajam dari 68 per 1000 dan 97 per 1000 Kelahiran Hidup (KH) (SDKI, 199) menjadi 35 per 1000 dan 46 per 1000 Kelahiran Hidup (SDKI, 2002 - 2003), namun penurunan kematian semakin melambat dalam 10 tahun terakhir. Berdasarkan SDKI tahun 2012, AKB 32 per 1000 kelahiran hidup dan AKABA masih 40 per 1000 Kelahiran hidup. Target MDGs tahun 2015, AKB menurun menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup.
Sebanyak 80% dari seluruh kematian balita, terjadi pada usia kurang dari 1 tahun (kematian bayi), dan 59,4% dari kematian bayi terjadi pada usia neonatal (kematian neonatal). Sebanyak 78,5% kematian neonatal terjadi pada usia 0-6 hari yang sbagian besar disebabkan oleh gangguan/kelaianan pernapasan (35%), prematuritas ((32%) dan sepsis/ifeksi (12%) (Riskesdas, 2007). Kematian neonatal ini sangat terkait dengan masalah pada saat kehamilan, persalinan dan perawatan bayi baru lahir. Prevalensi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Indonesia masih tinggi, yaitu 10,2% (Riskesdas, 2013). BBLR berhubungan dengan kondisi kehamilan ibu dan status gizi ibu yang dapat meningkatkan risiko relatif kejadian asfiksia 2,3 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi berat lahir normal. BBLR juga rentan terhadap hipotermi dan infeksi yang merupakan penyebab kematian langsung pada neonatus.
Tingginya cakupan pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan 95,7% dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 83,1% (SDKI, 2012) belum memberikan dampak pada penurunan Angak Kematian Neonatal (AKN). Masih rendahnya persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan 63% (SDIKI, 2012) serta masih rendahnya angka kunjungan neonatal (KN lengkap) 31,8% (Riskesdas, 2010) kemungkinan besar memberikan kontribusi terhadap tingginya AKN.
Demikianlah yang dapat kami bagikan kepada pembaca, semoga dapat bermanfaat. Silakan berikan komentar anda pada kolom komentar yang telah kami sediakan.